Di Jepang Anak SD Diajari Moral, Di
Indonesia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Banyak sekali
permasalahan pendidikan di Indonesia, mungkin tak cukup satu buku untuk
menuliskannya. Namun, sebagai warga negara yang peduli terhadap pendidikan,
kita tidak boleh lelah untuk terus menerus memperbaiki keadaan. Ini sekedar
sharing artikel yang tidak sengaja saya temukan di portal kompasiana.
Penulisnya bernama Junanto Herdiwan seorang ekonom yang bekerja di Tokyo. Dia
bercerita tentang anaknya yang sekolah di Jepang. Intinya bahwa sekolah dasar
di Jepang lebih banyak mengajarkan moral daripada ilmu pengetahuan dan
teknologi. Bukan berarti semua budaya Jepang patut kita ikuti, tentunya yang
sesuai dengan budaya Indonesia yang boleh kita tiru, yah….setidaknya bisa
dijadikan pembanding bagaimana pendidikan di Jepang dan di Indonesia. Berikut
artikel aslinya :
Anak saya bersekolah di
salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) kota Tokyo, Jepang. Pekan lalu, saya
diundang untuk menghadiri acara “open school” di sekolah tersebut. Kalau di
Indonesia, sekolah ini mungkin seperti SD Negeri yang banyak tersebar di
pelosok nusantara. Biaya sekolahnya gratis dan lokasinya di sekitar perumahan.
Pada kesempatan itu,
orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Kami
diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar mereka.
Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa
tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.
Melihat bagaimana
ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap
memerhatikan kepentingan orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka
memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi
tanpa ada kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang terjadi “by default”,
namun pastilah “by design”. Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan
karakter yang dilakukan terus menerus di masyarakat.
Dan saat saya melihat
bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses pembelajaran itu terlihat nyata. Fokus
pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih menitikberatkan pada pentingnya
“Moral”. Moral menjadi fondasi yang ditanamkan “secara sengaja” pada anak-anak
di Jepang. Ada satu mata pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral.
Namun nilai moral diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.
Sejak masa lampau, tiga
agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai
dan bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi
yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang
lebih luas. Dan filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem
nilai di Jepang.
Anak-anak diajarkan
untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk
menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.
Di sekolah dasar,
anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai
Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to
Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature &
the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group
& Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak
sehingga membentuk perilaku mereka.
Pendidikan di SD Jepang
selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri,
terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan,
dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat
di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun
bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal
ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.
Empat kali dalam
seminggu, anak saya kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia
harus membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap
anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu.
Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain.
Kebersahajaan juga
diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Nilai moral jauh lebih
penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak pernah menunjukkan atau bicara
tentang materi. Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone,
ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan
dianggap rendah di Jepang.
Keselarasan antara
pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan
masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah membersihkan WC, maka otomatis
itu juga dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua
di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah
tertanam dan terpateri di anak.
Dengan kata lain, orang
tua tidak “membongkar” apa yang diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka justru
mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian sang anak.
Saat makan siang tiba,
anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang
mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara
bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley
makanan dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan
mengambilkan makanan dan menyajikan minuman.
Hal seperti ini
menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain. Saya yakin,
apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti
nalurinya melayani masyarakat, bukan malah minta dilayani.
Saya sendiri bukan
seorang ahli pendidikan ataupun seorang pendidik. Namun sebagai orang tua yang
kemarin kebetulan melihat sistem pendidikan dasar di SD Negeri Jepang, saya
tercenung. Mata pelajaran yang menurut saya “berat” dan kerap di-“paksa” harus
hafal di SD kita, tidak terlihat di sini. Satu-satunya hafalan yang saya pikir
cukup berat hanyalah huruf Kanji. Sementara, selebihnya adalah penanaman nilai.
Besarnya kekuatan
industri Jepang, majunya perekonomian, teknologi canggih, hanyalah ujung yang
terlihat dari negeri Jepang. Di balik itu semua ada sebuah perjuangan panjang
dalam membentuk budaya dan karakter. Ibarat pohon besar yang dahan dan
rantingnya banyak, asalnya tetap dari satu petak akar. Dan akar itu, saya pikir
adalah pendidikan dasar.
Sistem pendidikan Jepang
seperti di atas tadi, berlaku seragam di seluruh sekolah. Apa yang ditanamkan,
apa yang diajarkan, merata di semua sekolah hingga pelosok negeri. Mungkin di
negeri kita banyak juga sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada
sekolah mahal yang bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan
sebagai sistem nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata.
Apalagi kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka satu
nilai moral sudah berkurang di sana.
Di Jepang, masalah
pendidikan ditangani oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, dan
Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut dengan Monkasho.
Pemerintah Jepang mensentralisir pendidikan dan mengatur proses didik anak-anak
di Jepang. MEXT menyadari bahwa pendidikan tak dapat dipisahkan dari
kebudayaan, karena dalam proses pendidikan, anak diajarkan budaya dan
nilai-nilai moral.
Mudah-mudahan dikeluarkannya
kata “Budaya” dari Departemen “Pendidikan dan Kebudayaan” sehingga “hanya”
menjadi Departemen “Pendidikan Nasional” di negeri kita, bukan berarti bahwa
pendidikan kita mulai melupakan “Budaya”, yang di dalamnya mencakup moral dan
budi pekerti.
Hakikat pendidikan dasar
adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi pekerti, bukan sekedar menjadikan
anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu teknologi. Apabila halnya
demikian, kita tak perlu heran kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya
cerdas, namun miskin moral dan budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk
menginternalisasi nilai-nilai moral saat SD dulu. Mungkin waktu kita saat itu
tersita untuk menghafal ilmu-ilmu “penting” lainnya.